Hampir 60% populasi ternak babi
dunia terletak di China dan Asia Tenggara, namun demikian situasi kesehatan
dari populasi babi tersebut sebenarnya sulit diramalkan. [3] Sejak
tahun 2006, industri ternak babi di wilayah ini dilanda munculnya penyakit baru
(emerging disease) highly pathogenic porcine reproductive and respiratory
syndrome (HP-PRRS) yang pertama kali dilaporkan di China, kemudian menyebar ke Vietnam,
Filippina, Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar. [1, 2]
Sejak
era Koch dan Pasteur di masa dahulu, para ahli dunia sudah berhasil
mengkompilasi pemahaman yang menakjubkan tentang berbagai penyebab penyakit
menular, bahkan pengetahuan biologi molekuler di era moderen ini berhasil
memberikan pemahaman mendalam sampai ”skala nano” (nanoscale) tentang mekanisme
penyakit pada individu hospes. Meskipun begitu pemahaman para ahli tentang apa
yang mendorong terjadinya perubahan pola penyakit pada tingkatan lebih tinggi,
seperti pada tingkat kelompok ternak (herds), wilayah, nasional, regional,
bahkan global, untuk kurun waktu lama tetap menjadi sesuatu yang relatif
rudimenter. [4]
Ekspansi
dan intensifikasi produksi ternak diidentifikasi sebagai penyebab paling utama
yang menyebabkan masalah-masalah lingkungan di dunia, meliputi pemanasan
global, degradasi lahan, polusi air dan udara, serta kehilangan biodiversitas.
[5, 4] Prediksi tentang pentingnya penyakit menular pada babi di masa mendatang
tidak bisa dilepaskan dari evolusi biologis yang terus berlanjut dan cenderung
menghasilkan patogen-patogen baru. Kita menyaksikan belakangan ini bagaimana
penyakit-penyakit baru muncul seperti Nipah virus, swine influenza H1N1, begitu
juga PRRS dan Porcine Circovirus tipe 2 (PCV2) dimana yang kedua terakhir ini
terus menjadi masalah industri babi yang menonjol sampai saat ini.
Selama
20 tahun terakhir, pergeseran kesehatan populasi babi berlangsung secara
dramatis terutama dipicu oleh perubahan antropogenik terhadap lingkungan dan
dinamika populasi babi. Efisiensi produksi telah mendorong terjadinya sistem
produksi ternak yang lebih intensif, mengarah kepada spesialisasi industri yang
lebih besar, konsentrasi produksi dan integrasi vertikal. Namun peranan
pergeseran ini terhadap kemunculan beberapa penyakit babi baru, seperti PRRS
dan PCV2 tidak diketahui pasti. [4]
Meskipun
efisiensi produksi dibarengi dengan inovasi manajemen kesehatan babi yang lebih
baik telah berhasil mengurangi dampak penyakit-penyakit babi endemik
tradisional seperti trichinellosis, toxoplasmosis, swine dysentry, sarcoptic
mange, neonatal collibacillosis, transmissible gastroenteritis dan lain
sebagainya, akan tetapi risiko munculnya penyakit-penyakit baru (disease
emergence) akan terus ada dan tetap mengancam kesehatan babi dan bahkan manusia
apabila patogen tersebut mampu menular antar spesies. [4]
Dinamika HP-PRRS di Asia Tenggara
Penyakit
Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) atau juga disebut penyakit
kuping biru (blue ear disease) adalah suatu penyakit menular ganas pada babi
yang pertama kali ditemukan hampir secara bersamaan di Amerika utara pada akhir
1980-an dan di Eropa barat pada awal 1990-an. Agen penyebab penyakit ini adalah
virus porcine reproductive and respiratory syndrome (virus PRRS), suatu virus
RNA dengan untaian pendek dan tunggal serta tidak tersegmentasi. [6]
Tanda-tanda klinis dikarakterisasi dengan kegagalan reproduksi pada induk babi
dan gangguan respirasi pada anak babi dan babi untuk penggemukan (fattening
pigs). Penyakit ditularkan horizontal dari babi sakit ke babi yang peka melalui
kontak langsung dan secara vertikal melalui foetus. [7]
Penyakit
ini kemudian dilaporkan terjadi di hampir semua lokasi produksi babi utama di
seluruh dunia, kecuali Australia, Selandia Baru dan Switzerland yang bebas dari
infeksi virus PRRS ini. Pada kenyataannya PRRS merupakan penyakit viral yang
paling merugikan secara ekonomi pada peternakan babi intensif di Eropa dan
Amerika utara. [7]
Virus
PRRS dapat diklasifikasi menjadi dua genotipe yang secara genetik sangat
berbeda. PRRS tipe 1 atau strain Eropa, dengan penyebaran utamanya di benua
Eropa, dan tipe 2 atau strain Amerika utara yang kebanyakan diisolasi di benua
Amerika (utara dan selatan) dan juga di Asia. Secara retrospektif, sirkulasi
virus PRRS tipe 1 atau tipe 2 sebenarnya sudah ditemukan di China dan Thailand
sejak 1996 dan wilayah Mekong River Delta di Vietnam sejak 2000, akan tetapi
sebelumnya pada saat itu tidak ada gejala klinis hebat dihubungkan dengan penyakit
ini. [6, 8]
Pada
musim semi 2006, suatu varian baru virus PRRS dilaporkan di China dan mulanya
diklasifikasi sebagai penyakit demam tinggi (high fever disease). Penyakit ini
menyerang hampir 2,12 juta ekor babi dengan kematian 400 ribu ekor. Gejalanya berbeda
dengan PRRS tradisional dan dikarakterisasi dengan demam tinggi, bintik-bintik
perdarahan pada kulit (petechiae), bercak-bercak kemerahan memucat pada kulit
eritematosa dengan kematian mencapai 100% pada satu unit produksi.
Gambaran
molekuler dari virus PRRS yang diisolasi dari wabah di China tersebut
menunjukkan adanya penghilangan 30 asam amino dari non-struktural protein 2
(NSP2) dan ini kemudian dijadikan sebagai penanda genetik dari virus PRRS baru.
Analisa filogenetik isolat-isolat virus dari China diklasifikasikan menjadi 4
sub-kelompok yang sekuens genomnya memiliki kemiripan 99% satu sama lain. [6]
Dengan penemuan baru tersebut, maka genotipe ini kemudian disebut sebagai virus
PRRS strain China. Begitu juga karena gejala klinis dan patogenesitas berbeda
dengan PRRS tradisional, maka penyakit ini kemudian disebut highly
pathogenic porcine reproductive and respiratory syndrome (HP-PRRS). Penyebaran
HP-PRRS sejak pertama kali dilaporkan di China dan kemudian ke Asia Tenggara
2006-2011 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1.
Penyebaran HP-PRRS di Asia Tenggara 2006-2011
|
Wabah
HP-PRRS muncul kembali pada 2007 di China dan terus persisten pada populasi
babi walaupun dengan besaran dampak yang berbeda. Wabah 2007 tersebut
dilaporkan begitu meluas dengan 826 kasus wabah di 26 provinsi, wilayah
otonomus dan kota, meliputi 257 ribu ekor babi terjangkit, 68 ribu ekor mati
dan 175 ribu ekor harus dimusnahkan (culled).
Wabah
HP-PRRS kemudian juga muncul di Vietnam pada 2007. Satu penjelasan yang
kemungkinan bisa dikemukakan dalam wabah di China dan Vietnam 2006/07 adalah
turunan virus PRRS tipe 2 (strain Amerika utara) berevolusi menjadi suatu
strain sangat virulen dibawah tekanan yang dipicu oleh perubahan
praktek-praktek peternakan babi di China. Termasuk juga keterkaitan
epidemiologis antara tingginya populasi babi dengan tatanan sistem produksi
berbeda-beda dan faktor lingkungan (temperatur dan kelembaban pada musim semi).
Koinfeksi bakterial kemungkinan juga berkontribusi terhadap penampakan klinis
dari virus PRRS yang sangat virulen ini. [6]
Sumber
wabah di China dan Vietnam pada 2007 tersebut tetap gelap sampai sekarang.
Suatu studi berhasil mengindikasikan bahwa varian virus PRRS yang ditemukan di
ke-dua negara tersebut berada pada tingkat 99% identik satu sama lain. Dengan
demikian tidak bisa dihindarkan munculnya suatu hipotesa bahwa kemungkinan
strain China 2006 baru ditularkan ke Vietnam dan kemudian bersirkulasi secara
cepat di negara itu. Tambahan pula, pengangkutan babi di dalam provinsi maupun
antar provinsi dan kesamaan iklim antara Vietnam dan China yang bertetangga
mungkin saja berkontribusi terhadap munculnya wabah-wabah tersebut. [10]
Penyebaran
virus PRRS antar peternakan umumnya diakibatkan oleh introduksi babi atau semen
terinfeksi, sedangkan penyebaran di dalam peternakan terutama disebabkan oleh
pergerakan antar kelompok babi dimana virus PRRS terbawa oleh babi ’carrier’
atau babi yang terinfeksi atau bisa juga terjadi pada saat mencampur babi-babi
tersebut selama masa produksi. [1]
Pola
penyebaran penyakit pada 2007 di Vietnam menunjukkan ada dua kali kejadian
wabah dengan total 44 kasus yaitu wabah pertama antara Maret-Agustus 2007 di
wilayah utara, bersamaan dengan liburan ”Tet” yaitu suatu masa dimana
berlangsung panen produksi babi dan peningkatan pergerakan manusia dan babi di
negara tersebut. Wabah ke-dua terjadi Juni-Juli 2007 di wilayah selatan negara
ini. [6, 9] Sekitar 44 ribu ekor babi terjangkit dan 4 ribu diantaranya mati.
[9]
Di
Vietnam, wabah HP-PRRS terus terjadi pada 2008-2009, akan tetapi tidak terlalu
hebat. Wabah berikutnya yang agak hebat terjadi kembali pada 2010 dengan
kerugian ekonomi cukup besar bagi produksi babi. Suatu studi molekuler
menunjukkan bahwa virus PRRS 2010 ini agak berbeda dengan virus yang diisolasi
pada 2007. [22] Dimulai pada April 2010 di wilayah utara negara ini, dan
menyebar ke wilayah selatan pada Juli 2010. [23]
Di
Filippina, wabah HP-PRRS dilaporkan pertama kali pada 2008 dan menyebar
terutama di wilayah-wilayah dimana terdapat kepadatan babi yang tinggi dan
peningkatan produksi babi komersial. Jumlah kasus yang terdeteksi terus
bertambah setiap tahun dan mencapai puncaknya pada 2009. Selama dilakukan
surveilans, semakin jelas terdeteksi bahwa kebanyakan kasus positif HP-PRRS
yang diuji ternyata juga positif terhadap patogen babi lainnya, seperti virus
classical swine fever (CSF), PCV2 dan virus swine influenza (SIV).
Di
Thailand, wabah HP-PRRS pertama dilaporkan pada 2010 dengan angka kematian yang
tinggi. Diawali di Nongkai pada bulan Juni 2010, dan dalam waktu sebulan telah
menyebar ke Provinsi Udonthani. Pada September-Oktober 2010, wabah HP-PRRS
telah menyebar ke peternakan-peternakan babi skala kecil di 12 provinsi di
wilayah timur laut Thailand. Penyakit menyebar terutama karena anak babi yang
dijual atau dibeli dari perusahaan pembibitan babi tertular. Pada
November-Desember 2010, wabah menjangkiti lebih banyak lagi peternakan babi
skala kecil dan juga menengah, dan bahkan meluas ke wilayah tengah dan wilayah
utara Thailand. [11] Keterkaitan dengan penyakit babi lainnya juga dilaporkan
terjadi, seperti halnya yang terjadi di China, Vietnam dan Filippina. [1]
Negara-negara
yang belakangan juga melaporkan berjangkitnya HP-PRRS adalah Laos dan Kamboja
pada 2010, serta Myanmar pada 2011. Kejadian wabah pertama kali di Laos terjadi
pada Juni 2010 diawali dengan satu peternakan komersial di Vientiane Capital
yang letaknya berbatasan dengan Nongkai, Thailand dimana pada saat yang sama
wabah HP-PRRS sedang terjadi. [1, 11] Wabah ke-dua di Laos terjadi pada Juli
2011 dengan penyebaran penyakit meluas ke 2 provinsi lainnya yaitu Bokeo dan
Bolikhamxay.
Laporan
pertama kali di Kamboja pada Juli 2010 dan sangat mungkin sumber wabah adalah
babi tertular yang diimpor secara ilegal dari Vietnam. Pemerintah Kamboja
kemudian memberlakukan larangan impor babi dari Thailand dan Vietnam. [1, 6,
20] Sedangkan wabah pertama kali dilaporkan di Myanmar pada Februari 2011,
diawali di Mandalay, kota terbesar ke-dua di negara ini. Kemudian wabah
menyebar ke Kota Nay Pyi Taw pada April 2011 dan Bago pada Juni 2011.
Koinfeksi HP-PRRS dan Streptococcus suis
Meskipun
munculnya wabah PRRS menimbulkan kekhawatiran besar terhadap industri babi dan
juga kesehatan masyarakat global, akan tetapi penyakit ini sendiri bukanlah zoonosis.
[10]. Penyebaran penyakit akhirnya secara cepat ke seluruh dunia melalui
perdagangan babi, semen, dan penularan lewat udara, termasuk melalui penumpang
pesawat udara yang bisa membawa virus ini melekat pada pakaian, sepatu atau
peralatan yang dibawa selama perjalanan. [12]
Virus
PRRS dan Streptococcus suis merupakan patogen yang umum ditemukan pada babi.
[14] Infeksi S. suis sendiri sifatnya adalah zoonosis artinya dapat ditularkan
ke manusia, dan dapat menyebabkan infeksi sistemik hebat pada manusia yang
terekspos babi tertular atau setelah mengkonsumsi produk babi yang tidak
dimasak secara baik. [13] Kuman S. suis adalah gram positif, katalase negatif,
dan anaerob yang fakultatif. Pertama kali diberi nama Streptococcus suis
pada 1987. Meskipun nama tersebut merujuk pada isolat yang berasal dari babi,
akan tetapi diidentifikasi juga pada sejumlah spesies lainnya. [15]
Saat
ini terdapat 35 serotipe S. suis yang berhasil diidentifikasi, akan tetapi pada
babi kebanyakan ditemukan serotipe 1-9 dengan serotipe 2 yang dikenal paling
virulen. [15] Serotipe 2 ini adalah yang paling umum dikaitkan dengan penyakit
pada babi dan manusia, dan juga yang paling sering dilaporkan diisolasi dari
hewan tertular di seluruh dunia. [16] Selama ini berhasil dipastikan bahwa
babi-babi terinfeksi virus PRRS menjadi lebih peka terhadap S. suis serotipe 2,
dan angka kematian pada babi yang mengalami koinfeksi seperti ini secara
signifikan lebih tinggi daripada babi-babi yang hanya terinfeksi virus PRRS.
[14]
Wabah
S. suis pertama pada babi dilaporkan terjadi di Inggris pada 1951 dengan angka
kematian yang tinggi serta gejala meningitis dan artritis. Setelah itu
dilaporkan terjadi di Belanda pada 1954, sampai akhirnya dilaporkan muncul juga
di Amerika utara pada 1969. [15] Gejala pada hewan pada umumnya ditandai dengan
septikemia, meningitis, endokarditis, artritis, dan kadang-kadang infeksi
lainnya. [17]
Kasus
manusia pertama terinfeksi S. suis dilaporkan di Denmark pada 1968, dan sejak
itu Eropa utara dan Asia Tenggara mengalami sejumlah wabah kasus meningitis
pada manusia yang disebabkan oleh S. suis tipe 2. Di China terjadi wabah pada
1998 dengan 25 kasus manusia dan 14 meninggal. [15] Gejala pada manusia berupa
demam tinggi, tidak enak badan, mual dan muntah, diikuti dengan gejala syaraf,
bercak kemerahan subkutaneus, syok septik dan koma pada kasus parah. [17]
Pada
2004, jumlah kasus manusia mencapai lebih dari 200 orang di seluruh dunia.
Kemudian pada 2005, China mengalami wabah untuk kedua kalinya yang mendapatkan
perhatian dunia akan potensi zoonosis dari S. suis ini. Antara bulan Juni dan
Agustus tahun tersebut, di Ziyang County, Provinsi Sichuan, terjadi wabah
dengan 204 kasus dan 38 meninggal (angka fatalitas kasus 18,6%). [15, 17]
Sampai
saat ini, relatif hanya sekitar 700 kasus S. suis dilaporkan di seluruh dunia,
kebanyakan terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Di negara maju kebanyakan
dikaitkan dengan pendedahan terhadap pekerjaan yang berkaitan dengan babi,
seperti pekerja peternakan babi dan pekerja rumah pemotongan hewan. Di negara
berkembang dengan sistem produksi babi yang intensif seperti di Asia Tenggara,
risiko untuk terinfeksi S. suis tidak diketahui pasti mengingat penyakit ini
bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan (notifiable disease) dan umumnya
kurang berhasil didiagnosa secara tepat (under diagnosis). [13]
Dalam
sampel yang dikumpulkan selama terjadinya wabah HP-PRRS di berbagai wilayah di
China, virus PRRS dan S. suis serotipe 7 ternyata selalu diisolasi bersama,
terutama pada kejadian demam tinggi atau disebut porcine high fever syndrome
(PHFS). Suatu penelitian di China berhasil membuktikan bahwa infeksi HP-PRRS
meningkatkan kepekaan babi terhadap S. suis serotipe 7, dan koinfeksi virus
PRRS dengan S. suis serotipe 7 secara signifikan meningkatkan patogenisitas
kuman ini terhadap babi. [14]
Di
Vietnam, S. suis dideteksi pada 17,9% babi-babi yang tertular HP-PRRS di Mekong
River Delta. Laporan dari Rumah Sakit di Kota Ho Chi Minh mengindikasikan bahwa
S. suis merupakan penyebab utama dari kasus manusia dengan gejala meningitis
(151/450), dimana 33% diantaranya terekspos dengan daging babi satu minggu
sebelumnya. [18]
Dalam
10 tahun belakangan ini mayoritas laporan kasus S. suis pada manusia berasal
dari Asia Tenggara, dimana penyakit ini dianggap sudah endemik, terutama di
China, utara Thailand, dan Vietnam. Penemuan ini dapat diterangkan oleh
tingginya kepadatan babi di wilayah ini, praktek-praktek penyembelihan ternak
tanpa tindakan pencegahan, dan konsumsi produk babi yang tidak dimasak atau
kurang dimasak dengan baik. [19]
Kesiapsiagaan regional
Dengan
munculnya HP-PRRS sejak 2006 di wilayah yang kepadatan populasi babinya sangat
tinggi seperti China dan virus kemudian menyebar ke Asia Tenggara (paling tidak
ke wilayah Greater Mekong), menunjukkan bahwa penyakit ini mengikuti jalur
intensifikasi produksi babi. Hal ini ditunjukkan dengan awalnya penyakit
berkembang di negara-negara yang memiliki unit-unit produksi komersial besar
dengan kepadatan ternak tinggi (seperti Vietnam, Thailand), tetapi kemudian
juga menjangkau negara-negara yang sektor komersial ternaknya belum berkembang
(seperti Laos, Kamboja dan Myanmar). [6]
Indonesia,
sebagai negara produksi babi terbesar ke-empat di Asia Tenggara (setelah
Vietnam, Thailand dan Filippina), tentu harus senantiasa meningkatkan
kewaspadaan terhadap kemungkinan HP-PRRS ini masuk ke wilayahnya. Kalaupun
kejadian PRRS diindikasikan sudah berjangkit di Indonesia sejak 2008, tetapi
informasi resmi tidak mudah didapatkan. Tidak adanya pengaturan dan pelayanan
teknis pemerintah terhadap sektor babi, menyebabkan lemahnya pelaksanaan
surveilans penyakit dan kesiapsiagaan terhadap munculnya penyakit baru. Padahal
dengan pasar global yang terjadi pada dekade ini, setiap virus yang muncul
dalam bentuk sangat ganas dan berpotensi lintas batas (transboundary) harus
dianggap sebagai ancaman.
Risiko
menularnya HP-PRRS antar negara akan semakin meningkat [2], dan ini berarti
juga berpotensi lebih jauh menjadi ancaman zoonosis apabila terjadi koinfeksi
bakterial seperti halnya dengan S. suis. Babi secara fisiologik lebih
menyerupai manusia, diakui atau tidak, karena kemiripan sistem pencernaan dan
alat tubuh antar keduanya. Peter Dazak, seorang ahli ekologi dan satwa liar
dari Ecohealth Alliance mengatakan: ”Semakin dekat suatu spesies dikaitkan
dengan kita, semakin besar kesempatan suatu patogen yang dibawanya menulari
kita”. [24]
Perlu
disadari bahwa pemicu kemunculan penyakit (disease emergence) seringkali
menjadi fungsi dari dua faktor. Pertama, faktor probabilitas dimana dikatakan
ancaman selalu ada dan kemunculan hanyalah suatu fungsi dari waktu. Ke-dua,
faktor pemicu kemunculan adalah suatu perubahan ekologi dimana patogen itu
hidup. [25]
Tulisan
ini dimaksudkan untuk memberikan suatu peningkatan kesadaran akan pentingnya
kesiapsiagaan regional bahwa pertumbuhan industri babi yang begitu cepat di
Asia Tenggara dalam 20 tahun terakhir ini bukan hanya dipandang penting di
sektor ekonomi, tetapi juga di sektor kesehatan. Mengingat potensi ancamannya,
Indonesia harus memperkuat kapasitas surveilans, pengendalian lalu lintas hewan
dan produk hewan, peningkatan kapasitas diagnostik laboratorium, serta
pengaturan biosekuriti dan biokontainmen. Untuk efektivitas kesiapsiagaan dan
pencegahan, ke depan dibutuhkan surveilans yang mengikutsertakan sektor swasta
dan partisipasi masyarakat (community-based surveillance).
Referensi:
1. Ayudhaya S.N.N. and Thanawongnuwech R. (2011).
One World – One Health The Threat of Emerging Pig Diseases: An Asian
Perspective. Proceedings International Symposium on Emerging and Re-emerging
Pig Diseases. Barcelona, Spain, 12-15 June 2011.
2. An T.-Q., Tian Z.-J., Leng C.-L., Peng J.-M., and
Tong G.-Z. (2011). Highly Pathogenic Porcine Reproductive and Respiratory
Syndrome Virus, Asia. Emerging Infectious Diseases, 17(9): 1782-1784. DOI: http://dx.doi.org/10.3201/eid1709.110411.
4. Davies
P.R. (2008). Old Diseases, Emergent Diseases: The Evolution of Health in the
Swine Industry. http://en.engormix.com/MA-pig-industry/health/articles/old-diseases-emergent-diseases-t1068/165-p0.htm
5. FAO (2006). Livestock’s long shadow:
Environmental issues and options. http://www.virtualcentre.org/en/librarykey_pub/longshad/A0701E00.pdf
6. FAO (2011). Focus on: Porcine reproductive and
respiratory syndrome (PRRS) virulence jumps and persistent circulation in
Southeast Asia. EMPRES, Issue No. 5 - 2011.
7. FAO (2007). Focus on: Porcine reproductive and
respiratory syndrome (PRRS) regional awareness. EMPRES, Issue No. 2 - 2007.
8. Tun H.M., Shi M., Wong C.L.Y., Ayudhya S.N.N.,
Amonsin A., Thanawongnuwech R., and Leung F.C.C. (2011). Genetic diversity and
multiple introductions and respiratory syndrome viruses in Thailand. Virology
Journal 2011, 8:164. doi:10.1186/1743-422X-8-164
9. FAO (2008). Porcine reproductive and respiratory
syndrome (PRRS). EMPRES Transboundary Animal Diseases Bulletin 31.
10. Feng Y., Zhao T., Nguyen T., Inui K., Ma Y.,
Nguyen V.C., Liu D., Bui Q.A., To L.T., Wang C., Tian K., and Gao G.F. (2008).
Porcine Respiratory and Reproductive Syndrome Virus Variants, Vietnam and
China, 2007. Emerging Infectious Diseases, 14(11): 1774-1776. DOI:
10.3201/eid1411.071676.
11. Kortheerakul K., Kupradinan S., Nuntaprasert A.
and Thanawongnuwech R. (2011). The outbreak of HP-PRRS in Thailand 2010 from
small holders to farming system. Proceedings of the 5th Asian Pig Veterinary
Society Congress, 7-9 March 2011, Pattaya, Thailand
13. Wertheim H.F.L., Nguyen H.N., Taylor W., Lien
T.T.M., Ngo H.T., Nguyen T.Q., Nguyen B.N.T., Nguyen H.H., Nguyen H.M., Nguyen
C.T., Dao T.T., Nguyen T.V., Fox A., Schultsz C., Nguyen H.D., Nguyen K.V., and
Horby P. (2009). Streptococcus suis, an Important Cause of Adult Bacterial
Meningitis in Northern Vietnam. PLoS ONE 4(6): e5973.
doi:10.1371/journal.pone.0005973.
14. Xu M., Wang S., Li L., Lei L., Liu Y., Shi W.,
Wu J., Li L., Rong F., Xu M., Sun G., Xiang H., and Cai X. (2010). Secondary
infection with Streptococcus suis serotype 7 increases the virulence of highly
pathogenic porcine reproductive and respiratory syndrome virus in pigs.
Virology Journal 2010, 7:184.
15. Ramirez A. (2011). Streptococcus suis – Zoonotic
epidemic in Asia. http://www.pig333.com/what_the_expert_say/streptococcus-suis-zoonotic-epidemic-in-asia_4091/
16. Papatsiros V.G., Vourvidis D., Tzitzis A.A.,
Meichanetsidis P.S., Stougiou D., Mintza D., and Papaiouannou P.S. (2011).
Streptococcus suis: an important zoonotic pathogen for human – preention
aspects. Veterinary World, 4(5): 216-221.
17. Gottsschalk M., Segura M., and Xu J. (2007).
Review Article. Streptococcus suis infections in human: the Chinese experience
and the situation in North America. Animal Health Research Reviews, 8: pp.
29-45. DOI: 10.1017/S1466252307001247.
18. Dan T.T., and Tu T.D. (2011). Trends of Swine
Production and Approaches of Major Diseases Control in Vietnam. Proceedings of
the 5th Asian Pig Veterinary Society Congress, 7-9 March 2011, Pattaya,
Thailand.
19. Wertheim H.F.L., Nghia H.D.T., Taylor W., and
Schultsz C. (2009). Streptococcus suis: An Emerging Human Pathogen. Clinical
Infectious Diseases 2009, 48:617-625.
21. Ayudhya S.N.N., Puranaveja S., Kortheerakul K.,
Teankum K., Amonsin A., and Thanawongnuwech R. (2011). First outbreak of
HP-PRRSV, A Chinese-like strain in Thailand. Proceedings International
Symposium on Emerging and Re-emerging Pig Diseases. Barcelona, Spain, 12-15
June 2011.
22.http://www.pigprogress.net/news/behaviour-of-hp-prrs-in-vietnam-surprises-veterinarians-7126.html
23. Tung N., Dang N.H., Vui D.T., Tho N.D., and
Inui, K. (2011). Molecular Epidemiology of Highly Pathogenic PRRS in Vietnam in
2010. Proceedings of the 5th Asian Pig Veterinary Society Congress, 7-9 March
2011, Pattaya, Thailand.
25. Deen J. (2011). One World – One Health. The
threat of emerging pig diseases: An American perspective. Proceedings
International Symposium on Emerging and Re-emerging Pig Diseases. Barcelona,
Spain, 12-15 June 2011.
Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
*) Penulis bekerja di
Food and Agriculture Organization of the United Nations, Emergency Centre for
Transboundary Animal Diseases (ECTAD) di Laos.
No comments:
Post a Comment