Friday, February 18, 2011

INFESTASI CACING Raillietina echinobothrida, Ascaridia galli, Heterakis Sp, KUTU PENGGIGIT Menopon gallinae, DIISOLASI DAN DIIDENTIFIKASI Stapylococcu

Ayam (Gallus domesticus)

Ayam peliharaan (Gallus domesticus) disebut ayam ternak karena hidupnya terbatas di lingkungan manusia. Berdasarkan cara budidayanya, ayam peliharaan dapat di bedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu ayam ras dan ayam bukan ras (buras) yang sering di sebut ayam kampung (Mulyono, 1999). Asal usul ayam piaraan adalah dari Asia Tenggara, yaitu Birma, dan ditemukan pada tahun 6000 Sebelum Masehi. Dari Asia Tenggara, kemudian ayam menyebar ke India, Eropa, dan Amerika (Yuwanta, 2004).

Gallus varius dianggap sebagai nenek moyang ayam yang sekarang masih ada. Gallus varius mempunyai warna yang bagus sehingga keberadaannya lebih dikenal dibandingkan dengan gallus yang lain. Karakteristik Gallus gallus bankiva jantan yang tersebar di Sumatra dan Sulawesi mempunyai berat badan 0,9 kg-1,2 kg, sedangkan betina antara 0,7 kg- 0,8 kg dan kemampuan bertelurnya 5 -7 butir per musim. Ayam inilah yang menjadi nenek moyang ayam kampung Indonesia yang desa ini banyak diternakkan sebagai ternak unggas penghasil telur, daging, dan hewan kesenangan (Mulyono, 1999).

Ayam bukan ras (buras) yang dulu disebut “ayam kampung” mempunyai banyak varietas dan spesies. Beberapa varietas ayam buras yang penting di Indonesia adalah sebagai berikut: ayam kedu, ayam nunukan, ayam sentul, ayam sumatra, ayam banten, ayam bali, ayam ciparage, ayam bangkok, ayam arab, ayam tolaki, ayam ayunai, ayam pelung, ayam delona, ayam belenggek, ayam gaok, ayam kapas, ayam bekisar, ayam walik, ayam wareng, ayam katai. Ayam kedu merupakan ayam lokal yang berkembang di Kabupaten Magelang dan Temanggung.berdasarkan penampilan warna, ayam kedu dapat dibedakan menjadi empat jenis sebagai berikut: ayam kedu hitam, ayam kedu cemani, ayam kedu putih, ayam kedu merah. Ayam kedu merah merupakan ayam dwiguna yakni sebagai ayam petelur dan pedaging. Berat ayam jantan dewasa 3 kg- 3,5 kg dan ayam betina 2 kg- 2,5 kg dengan produksi telur maksimal adalah 40 butir (Rukmana, 2003).

Taksonomi dari ayam menurut Yuwanta (2004) adalah: Phylum Chordata, subphylum Craniata (Vertebrata), class Aves, ordo Galliformes, familia Phasianidae, subfamili Phasianinae, genus Gallus, spesies Gallus domesticus.

Raillietina echinobothrida

Spesies ini menyerupai Railleitina tetragona dalam ukuran dan bentuk tubuhnya, rostelum memiliki 200 kait, panjangnya 10-13 µm, terdiri dari 2 baris, acetabulum berbentuk sirkuler dan dilengkapi dengan 8-10 baris kait yang ukurannya dua kali lebih besar dari ukuran kait Raillietina tetragona porus genital tersusun unilateral, segmen gravid berada di bagian tengah (Soulsby, 1968). Cacing ini sering menimbulkan nodula di tempat melekatnya skoleks pada dinding usus (Levine, 1994). Semut Tetramorium caespitum dan Pheidole vinelandica adalah vektor dari Raillietina echinobothrida di Amerika utara (Soulsby, 1968).






A


B







2


1


Gambar 1. A. Skoleks Raillietina tetragona; B. Skoleks Raillietina echinobothrida; 1. kait dari acetabulum; 2. Kait dari rostelum (Soulsby, 1968).

Ascaridia galli

Ascaridia galli terdapat pada usus halus ayam dan burung galinaseosa lain di seluruh dunia. Esofagus berbentuk alat pemukul dan tidak memiliki bulbus posterior. Cacing jantan memiliki penghisap preanal dengan tepian kutikuler. Spikulum sama besar dan tidak memiliki gubernakulum. Panjang cacing jantan 30-80 mm dengan diameter 0,5-1,2 mm. Penghisap preanal berdiameter 220 µm dan memiliki papila-papila pada tepi tubuh bagian posterior. Panjang spikulum 4 mm. Cacing betina memiliki panjang 60-120 mm dengan diameter 0,9- 1,8 mm. Vulva berada di anterior dekat pertengahan tubuh. Telur berbentuk elips dan memiliki kulit agak tebal (Levine, 1994).

Gambar 2. A. ujung anterior cacing Ascaridia galli; B. ujung posterior Ascaridia galli cacing jantan

Heterakis sp

Cacing nematoda ini termasuk dalam subfamily Heterakoidea. Cacing ini ditemukan pada sekum ayam. Pada ayam, penyakit ini terutama disebabkan oleh Hetrerakis gallinarum. Cacing ini dapat ditemukan juga pada kalkun, itik, angsa, ayam mutiara, sejenis ayam hutan dan burung puyuh. Cacing ini tidak pathogen namun mempunyai arti penting dalam penyebaran protozoa Histomonas meleagridis, penyebab blackhead atau enterohepatitis pada kalkun, ayam dan burung lainnya (Flynn, 1973).

Cacing ini mempunyai bulbus posterior pada oesophagusnya. Cacing jantan mempunyai panjang 7-13 mm dan betina 10-15 mm, kesuanya mempunyai ekor yang menggulung. Alae, perluasan dari kutikula, membentang sepanjang sisi tubuh.Ekor cacing jantan mempunyai alae, precloacal sucker dan 12 pasang papila. Spikula unequal, kanan 2 mm dan kiri 0,65-0,7 mm. Vulva membuka di belakang bagian tengah tubuh dan telurnya mempunyai panjang 65-80 µ dan lebar 35-46 µ, dengan cangkang halus dan telah berembrio ketika dikeluarkan (Olsen, 1962).

Siklus hidupnya langsung. Telur ber sel tunggal ketika dikeluarkan bersama tinja. Telur tersebut mencapai tahap infektif (mengandung larva stadium kedua) dalam 12-14 hari pada suhu kamar, dan menginfeksi unggas melalui pencernaan. Sebagian telur menetas di dalam empedal dan duodenum, dan larva menuju sekum untuk menjadi matang di dalam lumen. Sebagian larva memasuki jaringan limfe selama 2-5 hari, tetapi segera kembali ke dalam lumen. Larva menyilih menjadi stadium ke tiga 4-6 hari sesudah tertelan, menjadi stadium ke mpat 9-10 hari setelah tertelan. Cacing tanah dapat menelan telur dan bertindak sebagai induk semang transpor, melindungi larva untuk satu tahun lebih (Levine, 1978). Identifikasi berdasarkan pada identifikasi telur dalam feses atau cacing dewasa dalam sekum (Flynn, 1973).

Menopon gallinae

Merupakan kutu batang bulu “shaft louse”, berwarna kuning pucat, dan hidup pada batang bulu. Panjang kutu jantan 1,71 mm dan betina 2,04 mm. Pada masing-masing segmen di bagian thorax dan abdomen memiliki sebaris rambut yang berdiri “bristle”. Kutu ini terdapat pada ayam, itik, serta merpati. Gerakannya sangat cepat dan kumpulan telurnya diletakkan di atas bulu hospesnya (Soulsby, 1968). Kutu ini termasuk ke dalam superfamili amblycera. Antena tidak begitu tampak, terletak di dalam lekukan ventrolateral pada masing-masing sisi samping kepala, dan masing-masing antena terdiri dari 5 ruas. Palpus maksilaris kadang-kadang tidak ada, tetapi mungkin menonjol di samping kepala yang sering dikelirukan dengan antena (Soulsby, 1968; Noble et al., 1989).

Gambar 3. Menopon gallinae (Levine, 1994)

Stapylococcus epidermidis

Stapylococcus epidermidis adalah bakteri yang tergolong dalam famili Micrococcaceae, genus Stapylococcus yang meliputi sekitar 20 spesies. Bakteri tersebut bersifat gram-positif, berbentuk kokus (bulat), dan pad preparat apus terlihat bergerombol menyerupai untaian buah anggur. Stapylococcus sp. Yang sering diisolasi dari unggas meliputi Stapylococcus aureus, Stapylococcus epidermidis dan Stapylococcus gallinarum. Bakteri tersebut bersifat aerobik, fakultatif anaerobik, dan dapat diisolasi 5% agar darah.(Tabbu, 2000)

Stapylococcus epidermidis memiliki persamaan dengan Stapylococcus aureus yaitu keduanya merupakan bakteri yang sangat toleran terhadap garam, namun bakteri Stapylococcus epidermidis menunjukkan hasil negatif pada uji koagulase dan manitol (Bailey, 1962).

Bakteri Stapylococcus epidermidis merupakan bakteri yang normal di kulit. Infeksi terjadi jika bagian tertentu dari sistem pertahanan ayam mengalami kerusakan, misalnya luka pada kulit atau kerusakan membrana mukosa. Masa inkubasi stapylococcosis biasanya singkat, antara 1-3 hari dan penyakit tersebut dapat berlangsung 1-5 minggu (Tabbu, 2000). Ada beberapa stain Stapylococcus epidermidis yang dapat di isolasi dari conjunctiva normal, kasus ulser pada cornea dan endophtalmitis (Reddy et al, 2004)

Infectious Coryza

Infectious coryza (snot) merupakan penyakit saluran pernafasan pada ayam, yang disebabkan oleh bakteri dan dapat berlangsung akut sampai kronis. Secara umum snot dikenal sebagai penyakit yang menyebabkan kematian rendah tetapi morbiditasnya tinggi. Penyakit ini bersifat sangat infeksius dan terutama menyerang saluran pernapasan bagian atas (Tabbu, 2000). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penyebab penyakit ini adalah Haemophilus gallinarum, yaitu organisme yang dalam pertumbuhannya memerlukan factor X (hemin) dan factor V ( nicotinamide adenine dinucleotid, NAD). Namun sejak tahun 1960, isolat bakteri ini menunjukkan bahwa bakteri yang diisolasi hanya memerlukan factor V untuk pertumbuhan, yang kemudian organismenya dikenal dengan nama Haemophilus paragallinarum. Penyakit ini dapat ditemukan hampir pada setiap periode pemeliharaan ayam (pedaging maupun petelur). Gejala klinis yang tampak menciri antara lain terdapat akumulasi eksudat di sinus nasalis dan sinus orbitalis, pembengkakan daerah facial, lakrimasi, anoreksia dan diare. Penurunan konsumsi pakan dan air menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ayam dan menurunkan produksi telur (Calnek, 1997)

Infectious coryza biasanya sering terjadi pada musim penghujan atau musim dingin. Outbreak terjadi ketika ada ayam carrier dalam flock. Infeksi dalam flock disebarkan karena kontak langsung serta udara yang tercemar bakteri. Lamanya waktu infeksi bervariasi. Infeksi sekunder, kondisi kandang yang kurang baik, parasit, kekurangan nutrisi dapat memperlama waktu infeksi (Biester, 1952).

Perubahan makroskopik penyakit ini biasanya terbatas pada saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan kataralis akut pada membrana mukosa cavum nasi dan sinus (Chairman, 1989). Keradangan yang kronis akan ditandai dengan munculnya eksudat kaseosa pada sinus nasalis, sinus orbitalis, dan saccus konjungtiva (Biester, 1952). Kerapkali akan ditemukan adanya konjungtivitis kataralis dan edema subkutan pada daerah facialis dan pial. Perubahan histopatologi pada cavum nasi, sinus orbitalis dan trakea meliputi hyperplasia lapisan mukosa dan glandularis, edema, hyperemia, infiltrasi heterofil, mast cell dan makrofag di daerah tunika propria. Jika infeksi meluas ke saluran pernapasan bagian atas, maka akan ditemukan adanya bronkopneumonia akut, yang ditandai dengan adanya infiltrasi heterofil di antara dinding parabronki (Chairman, 1989).

Diagnosa Infectious coryza dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, isolasi dan identifikasi agen penyebab dengan menggunakan media dan prosedur yang sederhana. Spesimen diambil dari dari ayam stadium akut ( inkubasi 1-7 hari). Kulit di bawah mata diiris dengan pisau steril, sinus nasalis dipotong dengan menggunakan gunting steril. Bakteri ini tidak dapat bertahan hidup setelah 5 jam diluar tubuh ayam. Sehingga jika tidak segera dilakukan penanaman bakteri, sebaiknya organ disimpan dalam freezer. Swab steril dimasukkan kedalam sinus dimana organisme diduga terdapat dalam jumlah yang banyak. Swab kemudian di streak pada plat agar darah, kemudian di streak silang dengan Staphylococcus dan diinkubasi 37oC dalam candle jar (Calnek, 1997). Haemophilus paragallinarum tumbuh dalam 5% CO2 pada suhu 37oC (Chairman, 1989). Staphylococcus epidermidis atau Staphylococcus hycus merupakan organisme yang biasanya digunakan sebagai sumber makanan Haemophilus paragallinarum, karena tidak semua strain mampu menghasilkan faktor V, sebagai faktor pertumbuhan (Calnek, 1997). Setelah inkubasi Haemophilus paragallinarum akan tumbuh sebagai koloni cocobacillus diameter 0,3 mm, Gram negatif. Bakteri ini bersifat mikroaerofil, tidak motil, oksidase positif, koagulase negatif, pleomorphic, katalase negatif. (Chairman, 1989).

Selain dengan cara diatas Haemophilus paragallinarum dapat ditumbuhkan tanpa mneggunakan nurse culture untuk isolasi. Namun hal ini tidak dianjurkan sebab beberapa media dapat menumbuhkan bermacam-macam organisme. Sedangkan pada nurse culture yang diikuti avian haemophili mudah dikenali dengan terbentuknya satellitic growth. Beberapa media telah dibuktikan dapat digunakan untuk mensupport pertumbuhan avian haemophili, yaitu Haemophilus Maintenance Medium (HMM) dan Supplement Test Medium Agar (TM/SM). Avian haemophili dapat dipropagasi pada embrio ayam umur 5-7 hari. Biasanya inokulasi dilakukan melalui yolk sac. Setelah diiinkubasi satu malam, sejumlah besar Haemophilus akan tampak pada yolk sac dan dapat dipanen dan disimpan pada freezer -70oC. Prosedur diagnosa yang lain adalah dengan inokulasi eksudat suspect dari sinus infraorbitalis pada 2 atau 3 ekor ayam (umur 4 minggu atau lebih). Gejala klinis diagnosa akan muncul 24-48 jam (Chairman, 1989).

Penyakit yang mirip dengan infectious coryza adalah SHS, CRD, fowl cholera, fowl pox dan A-avitaminosis. Sehubungan dengan kemungkinan adanya infeksi campuran antara coryza dengan bakteri lain atau virus, maka jika terjadi mortalitas yang tinggi dan proses penyakit yang lama, maka kemungkinan tersebut perlu dipertimbangkan (Calnek, 1997).

Karena ayam carrier dapat berperan sebagai sumber infeksi, maka perlu dihindari untuk membawa pullet atau ayam lain yang mungkin membawa kuman Haemophilus paragallinarum
ke dalam lokasi peternakan yang tidak terinfeksi. Praktek pengamanan biologis yang ketat perlu dipertahankan, misalnya sanitasi/desinfeksi yang ketat, sistem perkandangan yang memadai dan istirahat kandang yang cukup (sekitar umur 17 minggu). Jumlah kelompok umur dalam suatu lokasi peternakan sebaiknya dikurangi untuk menghindari penularan penyakit dari ayam tua ke ayam muda. Praktek pengamanan biologis yang ketat, system perkandangan yang memadai dan istirahat kandang yang cukup (sekitar 2 minggu) (Calnek, 1997). Pemberian vaksin inaktif sebelum perkiraan timbulnya kasus dan sebelum produksi telur, yang didukung oleh praktek manajemen yang ketat kerapkali memberikan hasil yang menjanjikan. Pemberian vaksin inaktif dilakukan sekitar umur 8-11 minggu dan 3-4 minggu sebelum umur produksi (sekitar umur 17 minggu).


DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T, 1998, Kesehatan Unggas. Kanisius. Yogyakarta. Hal.58-60

Bailey, W.R. 1962. Diagnostic Microbiology. Saint Louis. The C.V. Mosby Company. Pp.119-121.

Benjamin, M.M., 1961. Outline of Veterinary Clinical Pathology. Second edition. The Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA. Pp.65-59, 72, 85-90.

Biester H.E.and L.H Schwarte. 1952. Disease of Poultry. 3rd edition. The IOWA State College Press. Ames. IOWA USA. Pp 79, 377-381.

Breed, R.S. 1948. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology .6th edition. The Williams & Wikins Company. Pp 585-589.

Calnek B.W. 1997. Disease of Poultry. 10th edition. Iowa State University Press. Ames. Iowa. USA. Pp 179-185.

Chairman et al. 1989. A Laboratory Manual for The Isolation and Identification of Avian Pathogens. 3rd edition. American Association of Avian Pathologists. University of Pennsylvania, New Bolton Center, Kennett Square. Pp 27-30, 43.

Coles E.H. 1986. Veterinary Clinical Pathology. 3rd edition. The Iowa State University Press. Ames.Iowa. USA. Pp.77, 80-81.

Fieldman, B. F., Zinki, J. G., and Jain, N. C. 2000. Schalm’s Veterinary Hematology. 5thed. A. Walters Kluwer Company. New York. Pp.38-40, 196.

Flynn, R.J. 1973. Parasites of Laboratory Animal. The IOWA State University Press. Amess. Pp.163-167,226-229

Hariono B. 1993. Hematologi, Buku Pedoman Patologi Klinik. Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Yogyakarta. Hal.15-16, 96-98.

Hofstad, M.S.; Calnek, B.W.; Hemboldt, C.F.; Reid, W.M.;Yoder, H.W. 1972. Diseases of Poultry. 6th ed. The IOWA State University Press. Ames. Pp.844-897.

Jain N.C. 1986. Veterinary Hematology. 4th edition. Lea and Febiger. Philadelphia. Pp.257, 829, 947-948.

Levine D Norman. 1978. Veterinary Parasitology. Burgess Publishing Company. Minneapolis. P.72.

Levine, D.N., 1994. Parasitologi Veteriner. Cetakan ke-2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal.167-168, 268-270.

Mitruka B. M and M. R. Howard. 1981.Clinical Biochemical and Hematological, Reference Value in Normal Experimental Animals and Normal Human. 2nd edition. Your Book Medical Publisher. Chicago Press. Ames.Iowa. USA. Pp.453-467.

Mulyono, S. 1999. Memelihara Ayam Buras Berorientasi Agribisnis. Penebar Swadaya. Hal.36-49

Olsen, O.W. 1962. Animal Parasites : The Biology and Life Cycles. Burgess Publishing Company. Minneapolis 15, Minnesota. Pp.210-215

Reddy T.N., Mahajan V.M. 2004. Toxigenik strain of Stapylococcus epidermidis and their experimental cornel pathogenic in rabbits .R.p. Centre New Delhi India Journal International ophthalmology. Abstract

Rukmana, R. 2003. Ayam Buras, Intensifikasi dan Kiat Pengembangan. Yogyakarta

Penerbit Kanisius. Pp.14-33

Schalm, O.W, Jain,N.C, Carrol,E.J, 1975, Veterinary hematology, 3rd Edition, Mosby, P.504

Soulsby, E.J.L. 1968. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal 7th edition. London : The English Language Book Society and Bailliere Tindall. Pp.100; 291; 300; 337 – 338; 367.

Tabbu R. C. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Volume 1. Kanisius. Yogyakarta. Hal.14-20

Tizard. Ian. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi ke duaAir Langga University Press. Surabaya. Hal.145.

Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hal.25-31


2 comments: